Ini Beda antara 'Sharing' dan
'Sharing Economy'
Rhenald
Kasali ;
Pendiri
Rumah Perubahan
Sewaktu saya kuliah di Amerika
Serikat, saya suka mencari literatur-literatur tua yang tidak ada di
perpustakaan. Mulanya sulit, tetapi begitu kampus berkenalan dengan internet,
perpustakaan menerapkan interlibrary loan.
Saya bahkan bisa meminjam buku
karangan saya sendiri yang saat itu dikoleksi oleh library of congress melalui
perpustakaan kampus. Cukup menulis di layar monitor, seminggu kemudian buku
datang di rumah.
Beberapa saat setelah itu,
masyarakat berpendidikan membentuk komunitas pinjam-meminjam buku. Semua
koleksi perorangan bisa dipinjamkan. Maklum, harga buku memang mahal dan kita
yang membeli, paling lama hanya memakai buku itu sekitar dua bulan.
Jadi, pantaslah para pecinta buku
men-sharing-kan koleksinya. Ini murni sharing, belum menjadi kegiatan ekonomi,
namun sudah mengancam eksistensi penerbit.
Gagasan itu baru berkembang menjadi
sebuah kegiatan ekonomi tatkala seorang peneliti menemukan bahwa rata-rata
pemilik power drill (bor listrik untuk memasang sekrup ke dinding) hanya
memerlukan alat itu sekitar 14 menit.
Padahal, para produsennya marancang
power drill agar kuat seumur hidup (a lifetime warranty) makanya wajar kalau
harganya mahal.
Dalam hal ini, konsumen Indonesia
mungkin lebih cerdas. Kita masing-masing memang perlu tenda untuk
kegiatan-kegiatan tertentu. Ya, tenda pesta. Apakah pesta sunatan, pernikahan,
kematian, ulangtahun, reuni, atau apa saja.
Barangkali 2-3 tahun sekali perlu
tenda sekitar 2-3 hari. Lantas buat apa dibeli kalau hanya dipakai
sekali-sekali? Kita pun menyewanya. Murah meriah. Bisnis sewa-menyewa tenda
hidup. Kegiatan ekonomi pun terjadi.
Di Amerika Serikat, gagasan sharing
economy muncul dalam banyak hal. Termasuk dalam pengumpulan power drill dari
para pemiliknya.
Seorang membuat aplikasinya,
memungut biaya sewa, dan sedikit komisi. Mereka yang membutuhkannya mengunduh
apps itu, lalu menyewanya. Ya, hanya untuk beberapa menit saja. Para pemiliknya
pun dapat uang.
Di San Francisco, dua orang sahabat
melakukan kegiatan ekonomi dengan menawarkan sharing space dari studio
apartemennya. Lumayan, tiga orang yang mendaftar.
Sejak itu lahirlah kegiatan menyewakan space apa saja, mulai
dari kamar yang menganggur, apartemen, kapal pesiar sampai tenda kemah.
Sekarang, gerakan ini telah berubah
menjadi sharing economy yang besar, bahkan menggeser kebesaran jaringan hotel.
Namanya Airbnb.
Orang-orang yang piknik ke luar
negri menyewakan kamarnya. Pada saat ia menyewa kamar orang lain di tempat tujuan
wisatanya. Uang pun berputar. Segala yang idle (menganggur) menjadi produktif
karena teknologi yang menghubungkan semua pihak.
Ekonomi Gotong Royong
Semangat ekonomi gotong royong kita
pelajari sejak di sekolah dasar. Di dana juga ada sharing, yaitu sharing
tenaga.
Di Bali, kerjasama itu disebut
Subak dan Ngayah, Mapalus (Manado), Gugur Gunung (Jogja), Sambatan (pesisir
Jatim), Song Osong Lombhung (Bangkalan, Madura), Pawoda (NTT), Siadapari
(Sumatera Utara) dan Paleo di Kaltim. Pokoknya dimana-mana ada.
Selain gotong royong, Indonesia
juga punya perekonomiannya, yaitu ekonomi gotong royong. Bung Hatta
pencetusnya.
Sebagai ekonom, Bung Hata yang
berasal dari Sumatera Barat, sangat dekat dengan ekonomi gotong royong.
Di Desa Lasi, Kabupaten Agam, misalnya,
jejak itu masih amat terlihat. Di sini saya diajak mantan Wali Nagari Lasi,
Suardi Mahmud Bandaro Putiah menyaksikan gerakan ekonomi rakyat membangun kebun
kopi warga desa.
Di atas ketinggian 1.400 menter di
atas permukaan laut, Datuk Suardi menunjukkan pohon-pohon kopi yang di-sharing
Rumah Perubahan empat tahun lalu.
Kami memberikan 20.000 bibit, dan
kini pohon-pohon kopi kualitas premium mulai panen sedikit-sedikit.
Ia pun berpesan agar saya
menceritakan kepada khalayak bahwa saya sudah sampai di lereng Marapi. “Agar
mereka tahu Pak Rhenald sudah sampai di tempat nenek moyang orang Minang,”
ujarnya sambal tersenyum.
Turun dari lereng, saya disambut
puluhan warga adat. Mereka membangun balai pertemuan dengan bahan dari bambu,
dan diberi nama “Istana Rakyat-Selaras Alam”. Ini bukan istana biasa, melainkan
istana pelaku ekonomi Gotong Royong.
Jangan salah, mereka ini
benar-benar petani. Tetapi di situ saya melihat Datuk Suardi menjalankan
sendi-sendi ekonomi koperasi. Anggotanya dibuat pandai dengan diskusi rutin,
dan merekapun punya impian bersama dari kegiatan ekonomi itu.
“Kami ingin naik haji bareng
melalui kebun kopi ini,” ujarnya.
Melalui gerakan koperasi yang kita
kenal, suara anggota didengar, dan manusia berkumpul dalam kegiatan ekonomi aktif
yang hasilnya ditujukan demi kepentingan anggota: kesejahteraan.
Gotong Royong dan Aps
Di Rumah Perubahan, gagasan ekonomi
Gotong Royong ditangkap oleh Alfatih Timur, yang pernah jadi mahasiswa saya di
kelas Manajemen Perubahan di UI.
Timmy (begitu sapaan Alfatih)
bercita-cita menjadi pemimpin. Tiga hari setelah bergabung di Rumah perubahan,
Timmy saya ajak ke Pulau Buru dan saya tinggalkan beberapa hari di sana untuk
bergabung dengan masyarakat adat desa.
Pulang dari Pulau Buru, gagasan
sosialnya timbul. Ia membangun komunitas Kitabisa.com, sebuah situs berbagi
sosial yang mempertemukan mereka yang mau menggerakkan perubahan (sosial) tapi
tak punya uang dengan yang mau menyumbang.
Gagasannya muncul dari
kesehariannya di masa kecil, di Bukit Tinggi – Sumatera Barat. Di Sumbar,
seperti Bung Hatta, Timmy biasa melihat segala masalah sosial lewat gotong
royong.
Upacara perkawinan, pindahan,
sunatan, bangun masjid, pertanian, pendidikan, bangun pasar dan seterusnya.
Semua dilakukan warga adat bergotongroyong.
Bedanya, kini Timmy tinggal di
kota, Ia bergaul lintas budaya dengan teknologi pula yang mempertemukan kita
semua. Real time! Ia pun menciptakan
situs Kitabisa.com.
Tahukah Anda, Timmy dan
Kitabisa.com bersama ribuan orang Indonesia tahun ini sudah mengumpulkan lebih
dari Rp 11 miliar.
Dana tersebut disalurkan untuk
membangun jembatan yang terputus akibat bencana alam sehingga anak-anak sekolah
tak perlu bergelayutan di sisa-sisa jembatan yang rawan rubuh, rumah bagi kaum
dhuafa, pengobatan bagi penderita kanker, bangun perpustakaan, masjid di
Tolikara sampai bus donor darah dan hadiah umroh bagi penjaga kampus.
Semua ini kegiatan sosial ? Ya !
Terang benderang.
Apakah ini ada ekonominya ? Ya
juga. Apakah dibenarkan ada kegiatan yang membagi keuntungan? Tentu saja tak
dilarang sepanjang keuntungan didapat secara halal dan wajar.
Tapi baiklah, besok kita lanjutkan,
sambil membahas business model, dan five in one dalam gerakan sharing economy.
Business model itulah yang sulit
dipahami kaum tua. Apalagi, kalau harga jualnya rendah, bahkan digratiskan
seperti mesin pencari Google atau media sosial Facebook.
Dari mana uangnya? Apakah itu
predatory? Jangan sampai kita gagal paham di sini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar