Tourism Old vs New dan Disruption Trend
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
Pekan-pekan ini umat Katolik Indonesia tengah sibuk menyusun
rencana besar menyongsong bulan Maria, yang biasa jatuh setiap Mei dan Oktober.
Salah satunya adalah ziarah wisata.
Destinasinya, Gua Maria yang tersebar di berbagai daerah.
Kebetulan Mei mendatang ini ada dua hari libur yang jatuhnya berurutan, yakni
Kamis- Jumat (5 dan 6 Mei). Ditambah libur Sabtu-Minggu, bakal ada empat hari
libur berurutan. Ini betul-betul akan menjadi very long week end bagi
masyarakat kita, baik umat Katolik maupun umat lainnya.
Waktu yang cukup untuk meninggalkan Jakarta yang semakin
sumpek. Apalagi sekarang perjalanan ke lokasi-lokasi ziarah wisata ke Jawa
Barat dan Jawa Tengah menjadi semakin mudah setelah jalan tol Cikampek-Palimanan
(Cipali) beroperasi. Ditambah lagi paket-paket tur dan transportasi murah yang
dikemas para pelaku sharing economy semakin banyak.
Mudah-mudahan pihak kepolisian, Dishub, dan PT Jasa Marga
kali ini lebih sigap mengatur arus lalu lintas di jalan tol Jakarta-Cikampek
dan Cipali sehingga saudara-saudara kita yang ingin berwisata tidak terjebak
kemacetan berjam-jam di jalan tol.
Wisata pun Disrupted
Mula-mula saya sebetulnya tak terlalu menaruh perhatian
dengan rencana libur dan ziarah umat Katolik tadi. Sebab nyaris setiap tahun
mereka melakukannya. Biasanya mereka pergi berombongan dengan mobil pribadi.
Jumlahnya mungkin empat-lima mobil.
Hanya kali ini saya agak terperangah, sebab jumlahnya
meningkat luar biasa. Mereka berangkat dengan dua bus! Saya mulai mencermati
fenomena tersebut. Namun, setelah membaca artikel di Boston Globe, saya mulai
melihat bahwa apa yang dilakukan umat Katolik tadi hanyalah potret kecil dari
sebuah perubahan besar dalam sebuah proses global disruption .
Soal ini, kami di Rumah Perubahan sedang sibuk-sibuknya
mengajari para CEO dan aparatur sipil negara merumuskan strategi dan aksi baru
di era disruption . Training selama lima hari itu amat diminati karena kami
mengajarkan cara-cara baru merumuskan strategi. Prinsipnya, kami ajarkan
korporasi dan institusi berinovasi like startups.
Anda tahu, kalau sudah bicara tentang perubahan, saya pasti
sangat menaruh perhatian. Bahkan Clayton Christensen yang mencetuskan teori
tentang Disruptive Innovation lebih dari 20 tahun yang lalu terpaksa angkat
bicara lagi karena ia melihat teorinya dikritik orang-orang asbun. (It is)
criticized for shortcomings that have already been addressed (2016), ujarnya.
Proses disruptive yang mengakibatkan penjungkirbalikan banyak
lembaga bereputasi ini bakal membuat pusing bukan saja para pendeta, pastor
ataupun para kiai dan pengurus masjid atau gereja. Kita semua, termasuk Menhub
dan Menteri BUMN, pemilik televisi, Presiden, bahkan Ketua BPK dan gubernur
tengah mengalami ujian disruptive innovation yang berat.
Bahkan para ketua majelis wali amanah universitas bergengsi
akan pusing mengatur rektor yang kolot dan pengusaha taksi bereputasi tinggi
yang amat kita cintai seperti Blue Bird atau perusahaan minyak sekelas Aramco
bakal bernasib buruk kalau kurang cermat merespons gejolak disruptions ini.
Bakal ada yang terjungkir balik. Melawan hukum manusia
kebanyakan loser takut dipenjara, tapi melawan hukum alam berisiko lebih besar
pada korban yang tak terbatas. Baiklah kita membahas soal artikel di Boston
Globe. Anda tahu bukan bahwa Boston Globe adalah media cetak yang punya
reputasi besar dalam menyajikan liputan-liputan investigasi. Salah satu liputan
Boston Globe pernah difilmkan.
Judulnya Spotlight. Film ini kemudian meraih penghargaan
Academy Award atau kita mengenalnya dengan sebutan Oscar sebagai Film Terbaik
pada tahun 2016. Apa isi liputannya? Menurut laporan Boston Globe , sejumlah
biro perjalanan wisata di Amerika Serikat mencatat pertumbuhan 164% dalam kurun
waktu lima tahun terakhir atau jika dirata-rata lebih dari 30% per tahun.
Ini angka yang luar biasa. Sebab kalau merujuk data Badan
Pariwisata Dunia (World Tourism Organization), setiap tahun industri pariwisata
dunia hanya tumbuh rata-rata 4%. Bagaimana bisa? Media ini lalu menelisik lebih
dalam. Rupanya pemicu lonjakan adalah meningkatnya permintaan wisata ke
lokasi-lokasi yang memberikan pengalaman spiritual dan religius.
Potret ini tecermin di sejumlah biro perjalanan wisata di
sana. Misalnya Audley Travel, biro perjalanan wisata di Boston. Biro ini
mengorganisasi perjalanan “wisata penyembuhan” ke Bali, ke biara-biara Shinto-
Buddha di Jepang, kuil-kuil suci di Thailand, termasuk Taktsang Monastery (atau
dikenal dengan sebutan Tigers Nest) di Bhutan—sebuah kuil yang berlokasi di
tebing dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter dari permukaan laut.
Pendakian yang melelahkan, tetapi dikemas menjadi simbol
betapa beratnya perjalanan kehidupan di dunia. Belum lagi wedding party di Ubud
plus afternoon tea di tepi Sungai Ayung. Biro wisata yang lain, Avanti
Destinations, yang berbasis di Portland, Oregon, AS, juga sukses mengemas
perjalanan wisata spiritual. Permintaannya naik lebih dari dua kali lipat.
Destinasi wisata favorit Avanti adalah tempat kelahiran
Martin Luther King Jr, tanah kelahiran Paus Fransciscus II di Argentina,
termasuk wisata ke Vatikan—yang setiap harinya mampu menampung 25.000
wisatawan—, Machu Picchu di Peru, serta sejumlah lokasi wisata yang misterius
dan religius.
Andaikan Suriah tak dilanda perang, barangkali negara ini
juga menjadi tujuan wisata yang penting untuk mengunjungi makam Nabi Adam,
sumur Ayub, Masjid Ummayah, dan Lembah Malula yang penduduknya masih mampu
berdoa Bapak Kami dalam bahasa Aramik. Potret serupa terjadi di birobiro
perjalanan wisata lainnya.
Intinya menggambarkan terjadinya tren wisata dunia dari yang
semula sekadar mencari kesenangan menjadi mencari ketenangan. Jadi, kalau dulu
banyak wisatawan mencari lokasi yang menawarkan sun, sand and sea—katanya untuk
membuat kulit mereka lebih cokelat sehingga terlihat lebih menarik (walau
sampai sekarang saya tak mengerti mengapa lebih cokelat menjadi lebih menarik),
kini mereka mencari sesuatu yang lebih. Apa itu?
Mereka rupanya mencari destinasi wisata yang lebih memberikan
ketenangan batin, lokasinya lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan serta
memperkaya pengalaman spiritualitas mereka. Menurut Catherine M Cameron dan
John B, Gatewood (2008), mereka kini mencari beyond sun, sand and sea. Mereka
sudah jenuh dengan wisata ke pantai, berjemur matahari, dan menikmati pasir
laut.
Mereka ingin mencari destinasi wisata yang lebih memberi
makna. Istilahnya, serenity, sustainability and spirituality. Tengok saja
bandara-bandara kita, setiap hari dipenuhi jamaah umrah yang makin hari makin
banyak peminatnya. Semua mencari ketenangan, bukan ketegangan yang biasa kita
baca di media sosial atau kita lihat di televisi.
Para wisatawan juga sudah jenuh menghadapi situasi dunia yang
tidak menentu, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Mereka juga mulai bertanya-tanya
tentang makna kehidupan. Kata Daniel Olsen, profesor geografi dari Brigham
Young University di AS, banyak orang yang mulai bertanya-tanya tentang makna
hidup, mengapa saya ada di dunia ini dan di mana saya setelah meninggal dunia?
“Wisata religi dan spiritual setidak- tidaknya memberi mereka
jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut. Memberi Anda perspektif lain dalam
hidup ini,” kata Olsen. Di sisi lain, meningkatnya tren wisata religius juga
dipicu kian meningkatnya popularitas Paus Franciscus II, Dalai Lama, dan
tokoh-tokoh spiritual lainnya, termasuk peringatan 500 tahun reformasi
Protestan yang dipelopori Marthin Luther King Jr yang bakal jatuh pada 2017.
Perubahan dan Peluang
Saya tadi sudah menyinggung bahwa tren perubahan wisata—dari
berbasis kesenangan menjadi mencari ketenangan— tak hanya terjadi di tingkat
dunia, tapi juga di depan mata kita. Buktinya, meningkatnya minat ziarah wisata
umat Katolik tadi. Lihatlah juga permintaan wisata umrah dan haji yang setiap
tahunnya terus meningkat. Tapi, jangan hanya melihat ke luar.
Lihatlah ke dalam. Negeri kita sebetulnya sangat kaya dengan
destinasi wisata tradisi dan religi. Kita mempunyai banyak masjid kuno yang
menjadi saksi sejarah tentang kebesaran Islam di negeri ini. Kita punya tradisi
Grebeg Maulud yang bisa dikemas menjadi tontonan memikat bagi para wisatawan
asing.
Kita juga punya makam Walisongo yang berserak mulai dari Jawa
Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Bagi kalangan Katolik, ada Gua Maria yang
tersebar mulai dari Sumatera sampai Jawa. Kita juga punya banyak sekali
kelenteng kuno. Jangan lupa kita juga punya Candi Borobudur, Candi Prambanan,
dan ribuan candi lainnya yang kaya dengan tradisi religi.
Belum lagi upacara Ngaben dan penyucian air atau upacara
Nyepi di Bali. Maka kita jangan hanya menjadi penonton perubahan tren wisata
dunia. Kita harus menjadikannya sebagai peluang untuk menjaring lebih banyak
wisatawan asing agar mau mengunjungi objek-objek wisata religi di Tanah Air.
Modal kita adalah kerukunan beragama— meski sesekali dinodai oleh
kelompok-kelompok radikal. Setiap perubahan selalu menawarkan peluang. Itulah
yang mesti kita tangkap. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar