'Five In One', Ini Yang Membuat 'Sharing Economy' Menjadi
Besar
Rhenald Kasali ;
(Pendiri Rumah Perubahan)
Tulisan ini merupakan lanjutan kolom kemarin: Semoga kita
sepakat bahwa budaya sharing itu bagus. Dan itulah yang dari dulu selalu
diajarkan para orang tua kita.
Dan sharing selalu dikontraskan dengan owning. Maka, sharing
economy, dalam hal tertentu bisa lebih memberi ruang bagi hadirnya
kewirausahaan baru, ketimbang owning economy.
Keduanya bisa hidup berdampingan, tetapi butuh regulasi yang
lebih humanis dan menghormati keberadaan keduanya.
Masalahnya juga ada: kalau dilengkapi dengan teknologi, ia
punya efek merombak persaingan. Apalagi kalau perekonomian masih kurang efisien
dan terlalu banyak pungutan yang mendistorsi.
Rakyat (khususnya kaum muda) yang berkolaborasi, akan punya
cara sendiri membangun kemandiriannya. Baiknya kita periksa kembali ideologi
kita berbangsa.
Jadi sharing adalah kerjasama, gotong royong. Dalam
perekonomian, dasar gotong royongnya tampak dalam sharing resources. Namanya
juga perekonomian, harus ada value creation, yaitu benefit yang bisa di-share,
yaitu kesejahteraan.
Anda boleh kasih nama apa saja: spiritual, emotional,
material atau monetary benefit.
Benefit itu adalah insentif yang memotivasi manusia, bukan?
It's a basic fundamental of human behavior.
Lantas mengapa sekarang tiba-tiba banyak kaum muda yang
terlibat dalam sharing economy dan berhasil mengubah dunia? Mengapa ia bisa
membuat para incumbent (pelaku bisnis konvensional) jungkir balik? Ini
jawabannya: Five in One Strategy.
Five itu mencakup: model bisnis, struktur biaya baru, teori
disrupsi, big data analytics, dan sharing resources itu sendiri. Jadi, sharing
economy tidak berdiri sendiri. Ia dipadukan dengan teknologi, ilmu statistik
realtime dan cara berpikir kaum muda.
Kecuali incumbent menjalankan prinsip "managing like
start ups" saya kira akan banyak
yang mengalami kesulitan di sini.
Model Bisnis
Ini adalah mantra lain dalam berkompetisi di abad 21.
Singkatnya model bisnis atau business model adalah cara manusia menemukan
benefit atau rezeki yang tersembunyi. Bisa langsung maupun tidak. Jadi, harus
cerdik karena dunia sudah benar-benar berubah. Ibarat memotong hewan kurban,
mereka mencari, "dimana dagingnya?"
Sharing economy juga merupakan business model. Tak perlu beli
yang baru, sharing saja yang masih ada lifetime value-nya, yang menganggur
(idle). Jangan dikuasai untuk didiamkan, dipagari atau digudangkan.
Regulator bisa mendukung atau sebaliknya mendistorsi sehingga
terjadi ekonomi biaya tinggi. Apalagi, kalau mereka hanya fokus pada
peraturan-peraturan yang ada Pendapatan Negara Bukan Pajak.
Segala hak milik pribadi kalau selalu harus diinstitusikan
dulu, baru di-sharing-kan, tentu menjadi hambatan bagi kerjasama dan biaya.
Kalau kita jeli dengan business model, harusnya kita bertanya
mengapa banyak pelaku ekonomi baru yang tak memungut bayaran? Lihat saja mesin
pencari Google, Facebook, Twiter, Line, Path, Youtube, bahkan kuliah gratis
seperti TEDx dan IndonesiaX.
Melalui business model itulah, para pelaku menggarap
key-partners, menggarap keuntungan dari sisi lain dan memilih waktu yang tepat.
Saya ambil saja contoh proyek kereta api cepat yang
kontroversial itu. Jepang dan China saja punya business model yang berbeda.
Yang satu ingin membangun lintasan pada jalur kereta api lama sehingga butuh dana besar untuk
pembebasan tanah. Income dari bisnis transportasi itu sendiri: utamanya tiket
kereta api.
Sedang yang satunya menggunakan konsep sharing resources dari
BUMN (jalan Tol milik Jasa Marga, terminal di area perkebunan Walini, konstruksinya oleh WIKA,
dan operatornya PT Kereta Api) dan mendapatkan keuntungan dari usaha di kawasan
TOD: Rumah sakit, Kampus, perumahan, perkantoran, sarana kerja dan sebagainya.
Sumber pendapatannya lebih beragam.
Kalau anda belum puas, baca lagi kolom saya ini: Mereka yang Melakukan Perubahan dengan Cara
Sederhana.
Di situ Anda akan membaca, betapa cerdasnya orang kampung
dari Pulau Adonara ini membangun desanya.
Bahasa kerennya itu kita sebut business model. Anda juga bisa
mereka-reka bagaimana business model kickstarter.com atau kitabisa.com.
Silahkan dipelajari.
Predatory dan Disruption
Ekonomi selalu mencari dua jalan: Efisiensi dan
kesejahteraan. Untuk itulah Clayton Christensen sejak 20 tahun lalu mengingatkan
proses disruption, yang bisa saja berakibat “kehancuran” atau “kemunduran” di
antara para incumbent.
Incumbent, menurut teori disruption, akan fokus pada kelompok
segmen pasar yang memberi banyak keuntungan padanya dan loyal. Mereka
menerapkan sustaining innovation.
Anak-anak muda, wirausaha baru, yang ingin masuk ke dalam
pasar, sebaliknya menerapkan disruptive innovation melalui business model.
Maka biasanya, wirausaha-wirausaha baru “mencari pasar” dari
bawah yang harganya murah. Mereka melayani kelompok yang belum menjadi pasar
karena soal harga dan diabaikan incumbent.
Tetapi perlahan-lahan terjadi dua hal: wirausaha baru
memperbaiki layanan dan teknologi, sedangkan segmen yang di atas tergoda
pindah. Apalagi kalau bagus dan jauh lebih murah. Di situlah terjadi proses
disruptif. Bergejolak dan ribut.
Lantas yang dikhawatirkan sebenarnya adalah kalau mereka
menerapkan strategi temporary, predatory.
Selentingan ini juga beredar kuat di masyarakat karena
terbetik kabar, Grab, Uber dan Gojek setiap bulan masih harus mengeluarkan
jutaan dollar. Mari kita buka teori dan praktiknya.
Menarik di simak karena sejarah perubahan 25 tahun terakhir ini yang berpola sama.
Mungkin kalau hidup di sini, Google dan Facebook (keduanya
juga rugi bertahun-tahun tapi kini menjadi yang terkaya di dunia) juga dituding
sebagai pelaku predatory pricing. Mereka menerapkan zero price, freemium. Tapi
lihatlah, itu bukan berlaku sementara, tetapi memang business model-nya.
Sementara Amazon yang berbayar, juga lebih dari lima tahun
rugi di tengah-tengah popularitasnya. Juga bukan hal yang aneh, semua pendatang
baru membutuhkan 2-5 tahun untuk mencapai titik impas.
Starbuck Indonesia, Sogo, Pizza Hut, dan sebagainya juga
mengalami hal serupa, sama dengan yang membuka usaha restoran. Rugi dan harus
nombok beberapa tahun di awal.
Nama ya learning curve. Semua pengusaha melewati kurva
belajar sampai profit datang. Tetapi
mengapa sebagian dari mereka menerapkan harga yang murah? Sekali lagi pelajari
business modelnya.
Big Data Analitics
Akhirnya harus saya katakan bahwa sharing economy tidak
berdiri sendiri. Untuk menembus barikade ekonomi berbiaya tinggi itulah publik
berkolaborasi, menciptakan sistem sendiri, menemukan business model yang pas,
dan mencari teknik-teknik baru untuk mengikis inefisiensi.
Jadi bagian mana yang tidak disukai kaum propaganda yang
“tidak welcome” terhadap kehadiran sharing economy? Ekonomi Gotong royong?
Business model? Proses disruption? Predatory pricing (atau learning curve) atau analitics?
Ini five in one sehingga sulit dibendung.
Mekanisme teknologi ini menjadi amat runyam, kalau incumbent
dan regulator terlambat belajar ilmu statistik baru yang didasarkan pergerakan
data real time.
Ya, generasi tua belajar teori sampling dan data time series,
kaum muda tinggal dalam big data dan real time.
Mereka bisa mendeteksi mood public dari kata-kata yang di
ucapkan dan ditulis lewat social media, bahkan mereka bisa memetakan siapa
menteri yang harus diganti.
Mereka menggunakan NLP ( Natural Language Programming),
Memory Based Reasoning (Recommendation), Sentiment Analysis, Customer
Segmentation using RFM ( Recency Frequency Monetary) dan Churn Risk analysis.
Senjata analitics itu juga bisa mendeteksi di mana ada
permintaan pada waktu tertentu. Dengan begitu pasukan suply dapat dikerahkan
untuk menjemput demand at the right time.
Kalau sudah begitu, "daging" ekonominya bisa lebih
mudah ditangkap. Jadi usaha mereka
lebih sehat, agile dan lebih sejahtera. Bahkan para driver dalam sistem
ekonomi five in one ini harusnya tak perlu lagi bekerja 12 jam.
Hanya dengan bekerja 8 jam saja sehari, sesuai dengan amanat
UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (2009), harusnya sudah bisa sejahtera kalau
sistemnya efisien. Kecuali regulator berkata lain, maka hasilnya akan berbeda.
Jadi Sharing Economy
dalam proses disruption ini tak berdiri sendiri. Saya berharap kita tak memilih untuk sekedar
menjadi penonton dalam gejolak perubahan ini.
Pelaku lama perlu meremajakan diri, strategizing like
startups. Regulator perlu membuka wawasan berpikirnya. Dan para startups tidak
cengeng dalam berjuang.
Detail semua ini bisa anda saksikan dalam kuliah umum saya di
IndonesiaX.co.id.
Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan bisa membuat kita
lebih kompetitif kalau paham dan terus mengikutinya. Karena dunia terus
berubah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar